Sabtu, 04 Oktober 2008

KU DIPANGGIL PULANG KAMPUNG

DAPIL PECEL LELE & SOTO LAMONGAN
( JAWA TIMUR X , LAMONGAN & GRESIK )


Sepuluh tahun lebih aku meningalkan kampung halaman tercinta, kota Tuban & Lamongan, dua kota para leluhurku berasal. Kota yang paling ku cintai, kota yang dibelah oleh hamparan sungai Bengawan Solo, sungai mitos penghubung para penguasa laut selatan dengan laut utara, sungai yang membelah tanah jawa, sungai yang membawa mitos para penerus leluhur majapahit dan mataram, sungai mitos yang melahirkan tokoh-tokoh pergerakan di Republik ini.
Sepuluh tahun lebih aku jadi perantau, sepuluh tahun lebih aku berjibaku melawan ganasnya kehidupan ibu kota, sepuluh tahun lebih aku berjuang sebatang kara, tanpa sanak dan tanpa saudara, sepuluh tahun lebih hatiku bergelora, cita-citaku membara, tuk mengapai impian nyata dalam perjuangan hidup di ibu kota. Keinginanku melanjutkan studi di kampus terbaik dinegeri ini, mengalahkan kondisi dan realita ekonomi keluargaku, keluarga santri kampung dan PNS yang serba kekurangan. Dengan Bismilah dam do'a, dengan pantang mundur & menoleh kebelakang, kaki ku ayunkan menuju perjuangan hidup di ibu kota. Kehidupan yang serba pas-pasan sebagai mahasiswa perantau tak menghalangi semangatku belajar dan berjuang di kampus perjuangan Universitas Indonesia. Siang hari aku belajar di kampus, malam hari aku berjuang mencari sesuap nasi di jalanan untuk mempertahankan hidup, berdagang buah-buahan di pasar minggu, berjualan mie ayam di tanah abang, hingga berjualan pecel lele di sekitar Margonda Depok adalah rutinitas kehidupa malamku diluar kegiatan studiku disiang hari. Hujan, panas, dinginya malam hari, capek, lelah dan badan serta tulang belulang terasa rontok, tak ku hiraukan, demi cita-cita besar yang selalu berkobar dalam setiap nafas perjuanganku. Sebuah gelora cita-cita anak muda kampung untuk memperoleh masa depan kehidupan yang lebih baik, sebuah cita-cita anak muda yang ingin mengabdikan kehidupannya bagi masyarakat, bagi ummat, bagi rakyat dan bagi bangsa yang dicintainya.
Hingga akhirnya pangilan perjuangan itu tiba, saat-saat genderang reformasi ditabuh diawal tahun 97-an, sebuah genderang perubahan yang begitu memekakkan telinggaku, genderang yang begitu kuat menyeretku, akhirnya genderang itu memaksaku menceburkan diri dalam dunia baru, dunia gerakan kemahasiswaan, dunia yang penuh cita-cita dan idealita, dunia yang penuh semangat romantisme dan heroisme darah mudaku. Awal tahun '98, kehidupanku mulai disibukan dengan diskusi dan demo-demo kecil melawan kekuasaan tirani rezim Soeharto, sebuah kehidupan yang merubah total karakter dan penampilanku, karakter anak muda kampung yang lugu, nurut, dan selalu nrimo terhadap kedzalian penguasa, menjadi anak muda yang beringas, anak muda yang berani, anak muda yang percaya diri, dan anak muda yang tidak takut untuk melawan kemapanan kaum tirani. Kegiatan demo-demo dan melawan kemapanan kaum tiran saya lakukan dengan cara mobilisasi gerakan massa didalam dan diluar kampus, gerakan massa kampus melalui aktivitas diskusi dan provokasi mahasiswa untuk melawan tirani melalui lembaga-lembaga intra universiter, BEM/Senat/BPM/MPM sedangkan mobilisasi jaringan luar kampus, melalui jaringan teman-temanku dijalanan : jaringan teman-teman asongan, jaringan teman-teman PKL, jaringan tukang copet, jaringan tukang parkir, jaringan pengamen hingga jaringan preman-preman tanah abang, mulai preman kecil hingga Hercules, sebagai teman jaringan gerakannku saat itu, semua ku ajak bicara tentang pentingnya reformasi dan perubahan, sebuah aktivitas jaringan yang tidak dimiliki oleh teman-teman aktivis mahasiswa semasaku. Aku mampu membangun komunikasi dengan mereka karena aku adalah bagian dalam kehidupan mereka, aku bagian dari segolongan mereka, segolongan masyarakat yang di marjinalisasi oleh kekuasaan politik. Selain itu aku juga bagian dari gerakan intelektual kampus, bagian dari gerakan kemahasiswaan, bagian dari gerakan orang kampus yang mendorong perubahan. Hingga akhirnya perubahan itupun datang, sebuah proses reformasi yang maha dasyat, sebuah proses perubahan elit penguasa yang menumpahkan darah rekan-rekan mahasiswa, sebuah perubahan yang menelan sebagian anak kandung negeri ini.
Reformasi telah usai, dan para senior-senior kami serta dosen-dosen yang dulu bersama kami dalam lokomotif reformasi telah mendapatkan ganjaran menjadi penguasa-penguasa baru di elit negeri ini. Dan kami, para mahasiswa, para aktivis, para demonstrans, dan para rakyat-rakyat kecil lainnya kembali ke rutinitas kehidupannya, yang studi kembali ke kampus, yang telah diwisuda berkutat dengan beratus-ratus lamaran pekerjaannya, demikian juga saya kembali bersama teman-teman PKL untuk mempertahankan hidup berjualan pecel lele kembali. Rutinitas berdagang menjadikan diriku seolah monoton, seolah dunia terasa sepi kembali, seolah darah mudaku berontak ingin dinamisasi yang baru lagi, dinamisasi kehidupan yang penuh perjuangan dan heroisme, dunia kehidupan yang memacu andrenalinku kembali. Dan, harapan itupun hadir kembali, saat-saat dagangan saya dan teman-teman pecel lele di margonda di porak-porandakan oleh trantip pemkot Depok, kamipun melawan, kamipun bertahan, hingga akhirnya kami berurusan dengan pihak kepolisian Depok. Perjuangan yang tidak pernah berhenti terus kami lakukan menolak pengusuran teman-temen pedagang pecel lele yang sebagian besar adalah saudara sekampung saya dari lamongan. Jaringan perlawananpun kami bangun kembali, teman-teman aktivis mahasiswa yang masih dikampus saya ajak kembali, kembali turun ke jalan untuk melawan kesewenang-wenangan Pemkot Depok, kembali berdemo untuk menolak pengusuran. Herosime perlawanan itupun melebar dengan melibatkan tokoh-tokoh preman depok, supir angkot hingga akhirnya berubah menjadi gerakan politik terhadap kebijakan Pemkot Depok saat itu. Kondisi semakin memanas karena menjelang pemilihan Wali Kota Depok, hingga akhirnya menjadi isu penting di sekitar ibu kota yang cukup panas tentang kebijakan pengusuran para pedagang pecel lele lamongan. Dukungan dari beberapa pihak makin menguat, teman-teman senior aktivis bandung memberikan dukungan penuh, M. Jumhur Hidayat dengan barisan buruhnya, Ferry. J. Juliantono dengan jaringan rakyat miskin kota dan taninya serta beberapa teman-teman gerakan turut memberikan dukungan terhadap perlawanan para pedagang pecel lele Lamongan.
Pertemuaan di Indonesia Bangkit, kantor dan LSM milik ADI SASONO bapak LSM dan tokoh gerakan ekonomi kerakyatan merupakan momentum awal kembalinya saya dalam dunia gerakan, sebuah dunia baru lagi dari seorang aktivis kampung. Melalui ADI SASONO, sebagai mentor politik saya saat itu, saya digembleng, saya digodok untuk menjadi aktivis yang peka terhadap rakyat kecil, menjadi aktivis yang melebur dengan rakyat kecil, menjadi aktivis yang benar-benar bisa mendarah dagingkan makna perjuangan rakyat kecil. Dan akhirnya saya diajak untuk lebih mendalami dan mempertajam kepekaan serta keperpihakan terhadap rakyat kecil dengan terjun langsung didalamnya, sebuah dunia baru, dunia gerakan ekonomi kerakyatan, dunia gerakan riel terhadap keberpihakan rakyat kecil, rakyat yang termarjinalisasi. Atas saran dan dukungan ADI SASONO, saya terjun ke Ormas yang dibuatnya, APKLI (Asosiasi Pedagang Kaki Lima se-Indonesia), sebuah ormas gerakan ekonomi kerakyatan yang didirikan awal tahun 80-an oleh tokoh-tokoh awal LSM dari ITB, UGM, IPB yang tergabung dalam PENDOWO LIMO, mereka adalah : Adi Sasono, Dawam Raharjo, Hadimulyo, Amin Aziz & AM Saefuddin. Saat MUSDA APKLI Jakarta, saya terpilih mutlak menjadi Ketuanya. Sebagai Ketua APKLI Jakarta adalah tugas awal yang sangat berat, karena setiap hari harus turun jalan bentrok dengan aparat trantip DKI untuk melawan pengusuran para PKL-PKL di sekitar Jakarta. Pengusuran yang paling sering adalah pengusuran terhadap saudara-saudara saya dari Lamongan yang berdagang pecel lele dan soto Lamongan, tiap hari harus berjibaku, berpanas-panasan bahkan hujan pun tak menyurutkan perjuangan kami bersama teman-teman PKL dalam menolak pengusuran. Keringat, tetesan darah dan air mata para ibu-ibu selalu mengiringi langkah perjuangan dalam setiap bentrok dengan aparat trantip untuk melawan pengusuran, langkah yang tidak pernah berhenti hingga tercapai kesepakatan untuk diperkenankan untuk mencari nafkah untuk sekedar memperoleh sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup para perantau.
Sebagai Ketua APKLI Jakarta, saya cukup populer dikalangan teman-teman gerakan di ibu kota, hampir setiap hari kami turun jalan dan bentrok dengan aparat trantif untuk melawan pengusuran, hingga akhirnya saya terpilih menjadi SEKJEN DPP. APKLI saat MUNAS IV APKLI di Surabaya tahun 2004. Sebagai SEKJEN di kalangan organisasi yang berbasis rakyat kecil menjadikan saya sibuk mengurus organisasi ini sampai pada level nasional, konsolidasi organisasi dan gerakan menjadi agenda terpenting dalam memperkuat basis organisasi ini. Keliling Nusantara, dari Aceh, Padang, Riau, Batam, Lampung, Kalimantam, Sulawesi, hingga Maluku menjadi agenda rutin konsolidasi yang saya lakukan. Hingga saat terjadi konflik maluku kita bersama teman-teman DPD maluku mampu meredam permusuhan antar etnis agama dengan semangat rasa persaudaraan antar pedagang kaki lima di sekitar Pasar Jl. Mardika - Ambon, sehingga mampu menjadi contoh semangat persaudaraan ditengan nuansa konflik yang bernuansa sara di maluku. Selain sebagi SEKJEN di ormas yang berbasis rakyat kecil ini, bebarapa jabatan pernah juga dipercayakan/amanahkan kepada saya, misal : Ketua BPM/MPM Universitas Indonesia, PB. HMI, KNPI- Pusat, PPK. KOSGORO - Pusat, KAHMI- Nasional, GP-ANSOR, HIPMI dan KADIN Indonesia.
Awal tahun 2004, saat hiruk pikuknya pemilu 2004 adalah awal saya terpanggil di wilayah medan politik, saat kekuatan parpol menjalin koalisi kebangsaan, yang saya nilai sebagai koalisi kaum elit partai dan kaolisi para tiran partai, saya bersama teman-teman gerakan rakyat kecil mengadakan beberapa pertemuan denga LSM dan ORMAS di Jakarta. Saya bersama M. Jumhur Hidayat dan beberapa rekan-rekan menggagas dibentuknya Koalisi Kerakyatan, antara beberapa elemen Ormas, OKP, LSM, Kelompok Studi, dimana gerakan itu merupakan koalisi rakyat yang termarginalisasi secara politik, gerakan dan isu inipun berkembang dan kita dorong masuk wilayah ranah politik. Melalui negosiasi dan kesepakatan dengan pihak SBY-JK tentang pentingnya komitmen terhadap rakyat kecil yang termarjinalisasi maka terjadilah kerjasama dan koalisi elit politik, yang diwakili tim sukses SBY-JK bersama koalisi kerakyatan, hingga akhirnya kaolisi kerakyatan memberikan dukungan penuh kepada SBY-JK dalam memenangkan pilpres 2004 untuk membawa agenda perubahan dan mendorong serta mengawal transisi reformasi '98. Atas kesepakatan tersebut akhirnya saya dimasukan ke tim Skoci di Cyber Building, tim sukses SBY-JK dari sayap militer yang dikomandoi oleh Jendral. M. Ma'ruf, dengan tugas menggalang kekuatan pendukung SBY-JK, dari kaum petani, buruh, mahasiswa, pedagang, dan kelompok2 masyarakat marginal di wilayah basis merah yaitu Jawa Tengah. Hapir 5 bulan tugas berat itupun kami jalankan hingga dapat kami selesaikan dengan baik, yang akhirnya kerja keras pengalangan dan mobilisasi politik didaerah tersebut mampu merobah peta politik diwilayah merah tersebut hingga mampu menghantarkan SBY-JK terpilih menjadi Presiden RI.
Saat Kongres I Partai Demokrat di Bali 2005, saya putuskan untuk masuk sistem politik, Partai Demokrat adalah pilihan perjuangan politik saya saat itu, melalui Bapak Hadi Utomo, Ketum DPP. PD dengan rekomendasi Jendral M. Ma'ruf, Jendral Wardi, Jendral Ismet, Jendral Yahya Sacawirya, Hayono Isman, Jendral Nurfaizi, dari Skoci Tim Cyber, saya diusulkan dan dimasukan ke dalam susunan kepengurusan DPP. Partai Demokrat sebagai Wakil Ketua DEPHANKAM, sebuah loncatan karier politik yang luar biasa bagi saya sebagai anak muda yang baru berusia 30-an saat itu. Sebuah jabatan dalam organisasi politik yang sangat prestisius bagi saya karena sebagai wakil ketua yang membidangi konsep strategi pertahanan dan keamanan negara yang mayoritas bawahan saya adalah para purnawirawan berpangkat kolonel dengan usia seangkatan ayah saya. Sebuah tanggungjawab yang berat dan penuh tantangan sebagai seorang politisi karier yang masih muda belia untuk dapat mengerakkan lokomotif kepengurusan partai dalam memenuhi target program yang telah digariskan oleh Dewan Pimpinan Pusat.
Dan dalam perjalanan waktu akhirnya saya kembali mengikuti garis takdir lagi yaitu kembali berjuang untuk kemajuaan kampung halaman dan mengurus rakyat kecil, kembali berjuang untuk rekan-rekan PKL - PKL , rekan- rekan pedagang pecel lele dan soto Lamongan khususnya serta masyarakat Lamongan dan Gresik umunya melalui Partai Demokrat dengan menjadi Calon Legeslatif DPR - RI daerah pemilihan Kab. Lamongan dan Gresik. Saya menyadari sebagai seorang insan yang lemah, dukungan do'a serta kritik ke depan sangat saya harapkan agar saya bisa menjadi lebih baik, lebih istiqomah, lebih amanah dalam mengemban amanat perjuangan berat ini. Saya sadar ini semua adalah pilihan tanggungjawab yang berat untuk memikul amanat ini, yang tentunya amanat tersebut dikemudiaan hari akan saya pertanggungjawabkan kepada Tuhan YME serta seluruh konstituen politik saya.

DAAN AKHIRNYA SAYA MOHON DO'A RESTU AGAR SAYA DIBERI KEKUATAN SENANTIASA LURUS DAN ISTIQOMAH DLM PERJUANGAN .
SEGENAP DO'A DAN DUKUNGAN SELURUH MASYARAKAT
SAYA SANGAT HARAPKAN UNTUK MEMPERKUAT
IKATAN JIWA DAN KOMITMEN PERJUANGAN INI.


Sabtu, 27 September 2008

MeT LeeeBaRan, " Ma'AfiN GuE YaCh "

MUDIK & PESTA RAKYAT
Oleh :
GuS HeNs ( H R S )

Insya Allah, sebentar lagi hari lebaran, hari kemenangan, hari kembali fitri dan hari mudiknya para perantau. Seperti juga penulis alami, masa-masa akhir ramadhan adalah masa yang paling sibuk, sibuk siapin barang-barang yang akan dibawa mudik alias pulang kampung. Segebok barang-barang dan benda-benda aneh terbungkus dalam ikatan kardus yang akan dibawa ke kampung halaman, untuk dibagikan pada para saudara dan tetangga kanan-kiri ataupun teman-teman kita masa kecil dulu. Tak peduli macet, tak peduli capek dijalanan, tak peduli resiko kecelakaan, semuanya tak peduli..., itulah para semangat perantau saat akan menikmati pesta yang sesungguhnya baginya, pesta yang tiada ditemukan di jakarta, pesta yang hanya setahun sekali dirayakan, bahkan pesta yang memunculkan adu gengsi para parantau-parantau ibukota dengan berbagai cerita kesuksesannya.
Mudik..., sebuah tradisi yang tiada tahu kapan dimulai dan dilembagakan seolah-olah menjadi acara formal yang akan menyedot perhatiaan masyarakat, membuat aparat sibuk dan menjadikan pemerintah super kalang kabut kalau sudah mengelola para mudiker's ini. Mulai yang bergaya disiplin, gaya emang gue pikiran, sampai gaya siapa lu...., tumplek bleg bleg bleg...bikin pusing pemerintah. Mulai dari calo, copet, maling, penipu, dan lain-lain yang berbau kriminal juga ikut membuat rencana dalam the day of mudik.....!!!, kondisi itu menjadi program mumet bagi pemerintah, gerbong-gerbong kereta api pun ditambah, untuk uji coba soal gerbong kemarin sampai-sampai, si Bos Negara ini, pak " SBY " rela ngelesotan di gerbong-gerbong kereta untuk merasakan bagimana sengsaranya para mudike'r klau lagi gencet-gencetan di kereta. Pesta rakyat yang hanya terjadi dibelahan Indonesia Raya ini, jadi kalau menjelang ramadhan...bukannya persiapan untuk khusuk ibadahnya...tapi udah siap-siap akan mudik, lihat aja seminggu akhir puasa, tanah abang pasti penuh lautan orang-orang pada belanja..., kadang-kadang terawehnya juga...lewat...!!!, sibuk mikirin mudik. Yach.....itulah nuansa masyarakat kita menterjemahkan bulan ramadhan dalam konteks ke indonesiaan, konteks tradisi yang tidak dimiliki bangsa lain, saking hebatnya....kaum mudike'r ini tidak hanya kaum muslim tetapi non muslim juga ikut menjadi peserta mudike'r, mungkin gara-gara liburannya yang panjaaang kali !!, yang lucu lagi....ech banyak masyarakat indonesia yang ada di negara tetangga, yang lagi cari rezeki disono, malaysia, singapure, brunai and bebarapa negara lainnya ikut-ikutan membuat program mudike'r. Alamaaak....kalau begini bisa-bisa menjadi hari mudik internasional.
Pesta rakyat, itu sebutan yang pantas kita berikan pada the day of mudik, karena saat itu para rakyat, ngak pandang bulu...mau yang sudah sukses dirantau, mau yang masih proses sukses, yang masih akan sukses ataupun yang tidak sukses, bahkan yang sengsara dirantauan...semua memeriahkan program pesta mudik ini. Tiada beban diwajah mereka, tiada kesedihan di pikiran mereka, semua terasa lepas ingin pesta ketemu sanak-saudara dengan berpakaian warna-warni produk made in tanah abang. Capek, stress, lelah bahkan badan terasa mau rontokpun tidak dihiraukan dalam perjalanan, semangat ingin merayakan lebaran dikampung mengalahkan semua itu....semua hanya satu harapan, ingin kumpul dengan sanak-saudara dan berbagi cerita kisah sukses diperantauan. Dari sisi ekonomi, tradisi mudik memiliki impact distribusi ekonomi yang mengalir dari pusat ke daerah cukup besar, potensi ekonomi dan dampak sosial yang positif selalu menjadi parameter tersendiri dalam mengelola tradisi ini. Pemerintahpun menjadikan hari-hari pra dan pasca lebaran menjadi program khusus untuk melayani masyarakatnya. Hampir dipastikan H-2 dan H + 2 kondisi Ibu Kota sangat lengang, bahkan sekedar mencari makanan susahnya luar biasa, belum lagi yang para pembantu rumah tangga pada pulang. Pasar-pasar tradisional yang biasanya dipenuhi pedagang dan penjual sayur mayur serta kebutuhan rumah tangga lainnya terasa bubar dan sepi. Pedagang-pedagang kaki lima penyedia makanan para penduduk ibu kota ini terasa hilang, lenyap tanpa harus digusur atau di kejar-kejar para aparat trantip. Inilah harinya rakyat kecil, inilah pestanya kaum perantau, pestanya kaum urban, inilah hari kemenanganya para pejuang-pejuang ibukota.

SELAMAT MUDIK & LEBARAN !!!!


RONY SOEHARTONO
Sang MuDiKe'R



Jumat, 19 September 2008

HIBAH ASING

HIBAH ASING DALAM MENGAKSELERASI KUALITAS PEMILU
Oleh :
GuS HeNS

Kata dengan embel-embel "ASING", bahkan kalau sudah berbau-bau soal dana dan dengan embel-embel 5 huruf tersebut sontak membuat rekan-rekan saya para aktivis, demonstran dan pengiat demokrasi yang bertempat tinggal di gubuk-gubuk bernama LSM/ORMAS, meradang menjadi demam tinggi dan mulut terasa gatal untuk segera berteriak. " Go To Hell Comprador ", begitulah kira-kira nuansa kebatinan rekan-rekan terhadap kecintaanya pada ibu pertiwi yang mandiri, bebas intervensi, tegar berdiri dan berwibawa dengan tanpa merunduk-runduk ke tangan para kapitalis global. Nah, momentum itu kini mencuat kembali disaat pesta demokrasi ini mulai akan ditabuh oleh KPU, tabuhan pemilu yang biasanya bergending solo berubah berirama cadas gaya Rock n'd Roll ala Paman Sam, suara-suara pedas, suara-suara memekakkan telingga bahkan kumpulan orang-orang sudah siap untuk memacetkan jalur 3 in1 seputar Jl. Imam Bonjol - Diponegoro, Menteng Jakarta Pusat. Belum ditambah lagi kelompok Bonex " PRO GUS DUR ", yang siap mengepung KPU dan berkemah disepanjang kawasan kaum elite Menteng akan menambak hiruk pikuk dan suasana tegang mencekam disekitar kantor penyelenggara pemilu tersebut. Bola panas ini muncul saat KPU baru saja digelontor dana oleh Pemerintah Belanda melalui program UNDP antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh pihak Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapenas) dengan Pemerintah Kerajaan Belanda melalui Kedutaan Besarnya di Jakarta, bantuan yang hampir mendekati US 1 juta, memang diperuntukan memperbaiki dan meningkatan kualitas sistem pemilu 2009. Selain pemerintah Kerajaan Belanda, bebarapa negara-negara barat juga berkomitmen untuk memberikan bantuan dalam medorong program ini, antara lain : Amerika dengan bantuan sekitar US 7 juta, Spanyol US 1.2 US, Autralia US 10 juta, dan beberapa negara lainnya turut serta berkomitmen memberikan bantuan dana yang dikemas melalui program UNDP. Dari peryataan pers pemerintah dalam hal ini pihak menteri keuangan dan Bapenas, bahwa dana-dan bantuan tersebut memang khusus dialokasikan ke dalam program meningkatkan kualitas pemilu 2009. Adapun beberapa program yang telah diagendakan antara lain, peningkatan partisipasi dan validitas data pemilih, penguatan sistem pelaporan hasil pemilu dari KPUD ke KPU Pusat serta beberapa akselerasi mutu Pilkada di bebarapa tempat.
Melihat beberapa agenda program yang telah dipaparkan memang terasa menarik dan masuk akal untuk dipraktekan dalam penguatan sistem pemilu 2009 mendatang. Namun seperti biasa, teman-teman aktivis dan gerakan mencium aroma bau tidak sedap dalam setiap dana hibah dan bantuaan yang selalu digelontorkan oleh pihak asing. Atau meminjam istilah para eksekutif muda jakarta, " tiada makan siang gratis ", maka rekan-rekan aktivis mencurigai pasti ada agenda tersembunyi dan pamrih dikemudiaan hari para kreditor - kreditor asing tersebut, atau malah akan menjadi dana " bancakan " alias kenduriaan para elit dinegeri ini dengan jurus aji mumpung ada pemilu. Beberapa pengalaman yang penulis alami semenjak menjadi aktivis, bahwa dana-dana seperti itu merupakan dana siluman-siluman yang tiada pertanggungjawabannya kepada publik, sehingga kadang kala banyak program yang dibuat mengada-ngada atau mumpung ada anggaranya " apa yang bisa kita mainkan "?, sehingga dana tersebut terasa untuk program main-main. Memang, kalau kita membaca TOR dari pembuat proposal ataupun proposal Bapennas sendiri terasa ideal dan sangat memiliki kualifikasi proyek yang layak mendapatkan pembiayaan, namun dalam tataran praxis program tersebut seperti jauh panggang daripada api, apalagi berbicara tentang azaz manfaatnya bagi masyarakat. Bahkan yang terjadi banyak konkalikong antara pembuat program proposal tersebut dengan pelaksananya, misal : akan banyak tumbuh LSM-LSM jamuran, yaitu LSM yang tiba-tiba muncul tanpa pernah memiliki eksistensi dan jaringan dimasyarakat, apalagi memiliki karya dalam pengalaman mengadvokasi masyarakat. Lahirnya LSM seperti itu hanya akan merusak citra LSM dimana mereka hanyalah LSM proyek yang dibuat untuk menjalankan proyek oleh sang pembuat proposal dan pemegang kebijakan proyek tersebut, sehingga nilai dan kontribusi positifnya bagi rakyat tidak ada.
Jadi dana asing yang kita peroleh dengan menggadaikan harkat serta martabat bangsa ternyata tidaklah banyak berarti bagi rakyat umumnya, tetapi sangat berarti bagi orang-orang disekitar elit kekuasaan dalam melakukan ritual ala mereka, yaitu " bancakan dana hibah ", mereka mengeruk dana tersebut tanpa pernah berfikir tentang harga diri bangsa, tanpa perna berfikir martabat bangsa dan tanpa pernah berfikir dari dan untuk serta pesanan apa dana tersebut digelontorkan oleh asing kepada bangsa kita, mereka hanya satu tujuan yaitu meraup sebesar-besarnya dana tersebut. Pantaslah mereka berteduh dalam rumah-rumah gedong meraka, pastalah mereka mengendarai jaguar meraka, pantaslah mereka memadati mall-mal, cafe-cafe elit di Thamrin, diskotik dan klub-klub eksekutif di ibukota, bahkan pastaslah mereka mem"boking" gadis-gadis pelacur bule untuk menaikan gengsi dan harga diri mereka. Sadarkah mereka, mereka telah menjual kemiskinan, mereka telah menjual kebodohan, mereka telah menjual anak-anak terlantar dengan atas nama program-program untuk orang miskin, demi untuk dapat dana-dana hibah dari asing untuk kesenangan dirinya. Betapa laknatnya kalian dimata Tuhan, betapa nistanya kalian dihadapan orang-orang miskin yang tetap tegar dan sabar dalam menjalani hidupnya. Pantaslah bangsa ini terus terseok-seok, terus terpuruk-puruk akibat penguasanya tidak amanah dan menjadi "anjing herder" bagi komprador asing.
Alangkah bijaknya kalau para penyelenggara dinegeri ini amanah, alangkah indahnya kalau kita menjalankan filosofis kekuasaan ini berdasarkan kata pengabdiaan, tapi apakah itu hanya utopia ?, yang jelas tidak. Jawaban dari semua itu adalah, bahwa orang-orang baik, orang-orang hanif, orang-orang amanah, wajib dan harus merebut kekuasaan dari penguasa-penguasa yang dzalim !!!.


Selasa, 16 September 2008

RENUNGAN HATI NURANI DIBULAN RAMANDHAN

ZAKAT & POLITISASI KEMISKINAN
Oleh :
GuS HeNS ( HRS )

"Kalau saya miskin karena garis Illahi, saya terima dengan ikhlas,...tapi kalau saya miskin karena dimiskinkan oleh kekuasaan,....akan saya lawan dengan tetesan darah terakhir" HRS

Sebagai mantan aktivis mahasiswa yang telah bergelut lebih dari 15 tahun berjuang, bergaul, menyelami hati dan kehidupan saudara-saudara saya yang papa, yang kurang beruntung, yang terpinggirkan dalam strata sosial ekonomi masyarakat di ibu kota, saya merasa miris melihat berita di Pasuruan, kota kecil tempat saya pernah tinggal beberapa tahun. Insiden tewasnya 21 orang , saudara-saudara saya yang papa dalam pembagiaan zakat dari salah seorang pengusaha terkenal dikota tersebut, menjadikan bulu kuduk saya merinding merasakan tragedi yang memilukan tersebut. Saya bisa merasakan denyut penderitaan dan harapan mereka terhadap perbaikan kehidupan, tapi disaat harapan itu muncul merekalah yang harus menjadi korban dari cita-cita dan harapannya. Rakyat kecil, rakyat miskin, rakyat papa, mereka identik dengan kebodohan, mereka identik dengan kekerasan, mereka identik dengan kebebasan bahkan mereka identik dengan hukum rimba yang kadang diantara mereka saling memakan, menginjak, menerkam dan membinasakan. Itulah kejujuran yang saya potret dari kehidupan dilingkungan mereka, mereka telah frustasi dengan kehidupan, mereka telah kalap akibat ditindas oleh struktur kekuasaan.....maka saat ada kesempatan mereka tiada pernah menoleh pada saudara-saudara senasib dengannya, mereka saling mendahului, mereka saling menerjang, mereka saling menginjak, untuk memperoleh apa-apa untuk mengisi perut dan menyambung hidup mereka.........mereka susah bersatu.....mereka......susah mempererat tali persaudaraan.....tapi merek saling salib dan membunuh bila ada kesempatan !!!.
Ma'af sebelumnya, kalau bahasa saya terlalu keras dan kasar berkenaan pandangan saya kepada sebagiaan dari orang-orang miskin yang selama ini saya potret dalam kehidupan mereka. Bukan saya tidak berpihak pada mereka, bukan saya tidak menyayangi mereka dan bukan saya tidak mencintai mereka, tetapi saya mencoba mengangkat potret kebenaran yang selama ini saya gauli dan dalami. Sebagai Sekertaris Jenderal APKLI ( Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia ), bersama Bapak ADI SASONO, saya secara pribadi telah bergaul dan menyelami kehidupan mereka lebih dari 15 tahun semenjak masih mahasiswa hingga kini, bercengkramah, tidur dalam pondok-pondok bambu di kolong-kolong jembatan dan di kolong jalan tol, terbiasa saya alami dalam rangka membela mereka, mengadvokasi mereka dan menyelami prikehidupannya. Mungkin jarang orang bicara selugas saya soal kemiskinan, biasanya para intelektual dan pengamanat ekonomi selalu bicara tentang angka-angka kemiskinan dari parameter ilmu ekonomi yang "melangit" mencari popularitas dengan menjual angka-angka tiap-tiap kepala dan perut kosong orang miskin.
Saya katakan " Bohong !! ", kalau ada pemerintahan yang menyatakan rakyat kita tidak ada yang miskin, dan saya katakan " Bohong..pula " kalau saat ini kemiskinan menurun. Ini saya katakan dengan lugas, walaupun partai saya sedang berkuasa ," katakan yang benar walau itu pahit ", itu prinsip yang selalu saya pegang....!!!. Saat ini untuk mensekolahkan anakpun mengalami kesusahan, makanan sehari-haripun teramat susah, mencari pekerjaan dan sesuap nasipun terasa berat, maka saya katakan " bohong " kalau kondisi lebih baik dari pemerintahan yang dulu, bagi saya..pemerintahan, baik yang dulu maupun yang sekarang masih gagal dalam mengemban amanat mengentasakan kemiskinan. Mereka semua masih berada diketiak dan menghamba pada kapitalisme global, mereka semua masih menjilat pantat UNCLE SAM, mereka semua masih mengemis dan merunduk-runduk ke penguasa kapitalisme global. Hanya isu rakyat miskin, hanya isu ekonomi kerakyatan yang mereka jual mencari sensasi politik, tapi mereka tidak pernah mendekat dan berpihak dalam kebijakan ekonomi poltiknya. Mengapa pedagang-pedagang kelontong kalian gusur, sedangkan kalian legalkan CAREFOUR ataupun ALFA MART berdiri ditiap gank-gank penduduk, dan kalian menutup mata atas itu, apakah itu ekonomi kerakyatan. Mengapa saudara-saudara saya kalian gebukin, kalian usir-usir, gerobak hasil utang kalian bakar?, dengan sok gagah kalian kerahkan pasukan baju biru yang tiada berakal dan berhati nurani ?, apakah ini solusi mengentas kemiskinan. Saya sadar, saudara-saudara saya bodoh, saya sadar, saudara-saudara saya keras dan saling menerkam diantara mereka, dan saya sadar, saudara-saudara saya susah diatur dan susah diarahkan, tapi saya sadar pula..., " saya harus membela mereka !!! ".
Zakat sebagai salah satu solusi atas kesadaran orang-orang berada terhadap orang-orang papa telah menjadi komuditas sensasi ala selebriti, bahkan melebar masuk wilayah dan ring politik. Sesuatu yang sungguh mulia yang dituntuntan Rosullullah Muhammad SAW, telah menjadi perbuatan "riya' " menjadi komoditas sensasi mencari popularitas dan ke'aku'an terhadap diri dimata masyarakat. Tidakkah, sungguh mulia, kalau orang yang berlebih harta datang dengan tiada mengexpos diri pada orang-orang yang papa. " Tidakkah, kita ingat khalifah Umar Bin Khattaf, memikul karung beras sendiri di malam hari menyantuni wanita miskin yang buta, dengan tiada orang yang melihatnya bahkan dirinya dihujat dan dicerca wanita miskin tersebut atas kepemimpinanya iapun tetap sabar, tabah dan rutin mengangkap karung beras padanya ". hingga ia wafat baru wanita miskin yang buta itupun tahu kalau yang menyantuninya selama ini adalah sang khalifah yang selalu ia benci dan maki saat bertemu dengan khalifah itu sendiri. Tidakah, ada keinginan para pengusaha itu datang dan menghadiri satu persatu orang-orang papa itu dengan tanpa diketahui gemerlapnya pemberitaan, ataukah memang mereka ingin menari diatas kemiskinan untuk popularitas.
Jangan jadikan zakat untuk menari diatas genderang kemiskinan demi popularitas, bahkan jangan jadikan kemiskinan sebagai alat politik untuk sebuah kekuasaan. Berikanlah dengan ikhlas pertolongan kepada mereka tanpa hingar bingar sorot kamera dan pemberitaan, ulurkan tangan kalian dengan tulus walau ujung jarimu digigit oleh mereka. Jangan jadikan mereka ajang politisasi kemiskinan, jangan menari diatas perut kosong mereka, berfikirlah dan berkaryalah untuk membuat mereka mampu bertahan hidup, bukan untuk terinjak-injak dalam ketidak pastian hidup.
Semoga renungan ini berguna bagi saya pribadi, bagi saudara-saudaraku yang berlebih harta, dan bagi kawan-kawanku yang sekarang sedang berkuasa.


Senin, 15 September 2008

MEMAHAMI SISI HUKUM UU. 10/2008

PENGUNAAN SUARA TERBANYAK
Oleh : GUS HeNS ( HRS )

Beberapa hari ini dunia sinetron perpolitikan nasional mulai diramaikan dengan pendaftaran bakal calon anggota legeslatif yang disampaikan oleh pimpinan parpol, baik dari tingkat nasional hingga kabupaten. Satu hal yang menarik adalah terjadinya inkonsistensinya beberapa parpol terhadap rumusan UU NO.10/2008 tentang Pemilu terutama persoalan tentang penentuan calon terpilih. Sebagaimana dalam UU tsb sistem pemilu yang kita anut adalah proporsional terbuka terbatas dengan batasan 30% bagi caleg terpilih atas namanya, apabila tidak memenuhi kreteria tersebut maka caleg terpilih dikembalikan pada nomer urut. Teringat kembali, saat terjadi pertarungan dalam perumusan UU tersebut di parlemen, dimana draf RUU dari pemerintah menginginkan sistem proporsional terbuka murni dengan tanpa nomer urut/berdasarkas suara terbanyak, namun kenyataanya draft tersebut di blok dam dihadang oleh partai-partai besar (PDIP & Golkar). Masih hangat dalam ingatan saya, saat itu peta politik parlemen terbelah menjadi 3 bagian,yaitu : 1) Mendukung draft RUU usulan pemerintah। 2) Mempertahankan nomer urut, seperti mekanisme pemilu 2004. 3) Mengambang/belum mengambil putusan, tapi dengan memberikan draf usulan agar sisa suara tidak habis di tiap-tiap dapil. Dari 3 peta politik diparlemen terbelahlah sbb : partai-partai " tengah " mendukung usulan pemerintah (PAN,PKS,DEMOKRAT,PBR,PDS), sedang partai-partai besar menghadang draft pemerintah (PDIP,PG), selanjutnya PPP,PKB memilih arternatif ke-3. Dalam loby-loby politik yang cukup alot didapat beberapa alternatif namun tidak memperoleh kesepakatan bersama, hingga diambil putusan untuk voting terhadap beberapa alternatif rumusan tsb. Dalam kondisi tersebut PKB menyeberang dan berkoalisi dengan partai-partai besar hingga akhirnya disepakatilah rumusan yang sekarang menjadi UU. No. 10/2008. Namun dalam perjalanan waktu saat ini, terjadi kelucuan-kelucuan politik dimana partai-partai besar yang dulunya menblok rumusan pemerintah justru berbalik membuat aturan internal partainya dengan mekanisme suara terbanyak dan mendorong revisi terbatas UU 10/2008 ( PDIP dengan 15% dan PG suara terbanyak ). Partai yang konsisten sejak awal menerapkan sistem suara terbayak adalah PAN hingga akhirnya PD, PBR dan PDS menerapkan hal yang sama. Disatu sisi PKS yang dulu getol menyuarakan suara terbanyak justru saat ini menolak mentah-mentah dan menerapkan sistem nomer urut kepada calegnya bersama dengan PKB dan PPP. Inilah kelucuan-kelucuan para politisi dan elit politik dinegeri ini yang tidak konsisten terhadap putusannya sendiri, mereka tidak pernah berfikir tentang makna sesungguhnya demokrasi apalagi tentang kemaslahatan rakyat banyak, mereka hanya berkepentingan untuk duduk kembali di kursi parlemen walaupun apa yang dilakukan menabrak rambu-rambu hakekat demokrasi. Kondisi ini terjadi dimana banyak para anggota DPR dari partai besar (PDIP & Golkar) yang duduk diparlemen saat ini tidak mendapatkan nomer urut kecil sehingga kemungkinan mereka terpilih kembali sangat mustahil, oleh karena itu mereka bermanuver untuk mengegolkan agenda berdasar suara terbanyak dalam rangka ada celah bagi mereka untuk lolos kembali ke parlemen dengan perhitungan mereka sudah memiliki logistik biaya kampanye yang cukup serta jaringan yang telah ia bina selama 5 tahun, jadi berasumsi dari hal tersebut maka kata-kata "demokrasi = suara terbanyak", hanyalah bualan politik dan omong kosong mereka kepada rakyat untuk mengegolkan agenda politik kepentingan pribadi mereka dengan menjual atas nama demokrasi dan rakyat. Sangatlah indah apabila perjuangan rekan-rekan di DPR itu berdasarkan hati nurani dan ketulusan dalam rangka memperbaiki kehidupan demokrasi kita untuk menggapai keadilan dan kesejahteraan rakyat dengan tanpa dikotori agenda kepentingan pribadi sesaat. Terlepas dengan itu semua, saya akan mencoba menganalisa perihal pengunaan suara terbanyak dengan masih diberlakukanya nomer urut sebagaimana termaktup dalam UU.10/2008. Beberapa hal yang ingin saya sampaikan sebagaimana kejadian tersebut dalam pandangan hukum, terlepas saya sebagai caleg maupun politisi maka saya akan menyampaikan secara objektif, fair dan jujur dari sudut Hukum Tata Negara, walaupun pandangan itu merugikan saya sebagai politisi karier yang kata orang selalu mengunakan istilah " politisi jenggot " pada teman-teman aktivis politisi karier, pandangan dari sisi hukum ini saya sampaikan secara terbuka sebagaimana kadar kemampuan keilmuaan yang saya miliki dalam bidang Hukum Tata Negara. Pengunaan suara terbanyak lahir dengan memanfaatkan celah hukum dalam UU. 10/2008 pasal 218 tentang mekanisme pengantian anggota DPR/DPRD, yang terutama adalah butir nomer b yaitu perihal mekanisme proses pergantiaan anggota DPR/DPRD melalui proses pengunduran diri. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa parpol dalam mengambil kebijakan internalnya dengan metode suara terbanyak melalui cara pembuatan perjanjian surat pengunduran diri antar bacaleg dengan pimpinan parpol apabila suara mereka lebih rendah daripada calon lain walaupun mereka berada nomor urut kecil. Apabila caleg yang nomer kecil legowo mengundurkan diri karena suaranya lebih kecil daripada caleg dibawahnya maka tidak akan menjadi persoalan dalam internal partai yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya, apabila nomer kecil yang suaranya lebih kecil dari caleg dibawanya tetap ngotot untuk tidak mau mundur maka akan terjadi perseteruaan politik dan dilanjutkan dalam ranah perseteruaan hukum antar caleg yang merasa suaranya terbanyak tetapi tidak terpilih menjadi caleg karena nomer kecil diatasnya tidak mau mengundurkan diri. Kalau ini terjadi maka akan terjadi saling gugat secara hukum antara caleg yang nomer urutnya kecil akan digugat oleh caleg yang memperoleh suara terbanyak bersama dengan pihak pimpinan parpol. Nah, mari kita tinjau secara hukum tentang khasus gugatan hukum tersebut, perjanjian pengunduran diri antar bacaleg dengan pimpinan partainya sbg steakholder hanya memiliki perikatan hukum secara perdata ( lihat teori hukum tentang perjanjian), karena masuk wilayah perjanjian antar seseorang atau dengan lembaga, sedangkan disatu sisi UU. N0.10/2008 adalah masuk kaidah hukum formil (kaidah hukum yang terlembagakan dalam praktek-praktek ketatanegaraan kita). Nah, apabila dibiarkan terjadi perseteruan antara wilayah hukum perdata dengan wilayah hukum formil maka pengadilan, sebagai lembaga yudikatif pengambil putusan hukum akan mengambil keputusan memenangkan wilayah hukum formil berdasarkan kaidah tata urut perundang-undangan RI, dimana produk hukum yang termaktup dalam UU lebih tinggi kedudukanya dibanding dengan wilayah perjanjian (lihat sistem tata urut perundang-undangan RI), karena perjajian itu adalah ranah hukum perdata yang mengikat perseorangan sebagai bagian dari warga negara. Kalau sudah begitu maka gugatan hukum yang dilakukan oleh caleg yang memperoleh suara terbanyak dan pimpinan partai sbg steakholder kepada kadernya yang tidak mengindahkan kesepakatan perjanjian perdata secara hukum akan kalah dipengadilan. Kalau sudah begitu artinya KPU akan berpegang pada putusan hakim yang telah memiliki putusan hukum tetap artinya KPU akan mensahkan kader yang berada pada nomer kecil menjadi caleg terpilih dengan mengabaikan caleg yang mendapatkan suara terbanyak, bila ini terjadi maka akan menimbulkan kegoncangan politik diinternal partai dan berakibat terjadi konflik politik yang berkepanjangan dalam skala nasional. Tentunya kita tidak ingin bangsa ini mengalami perseteruaan politik diantara para elitnya akibat kaidah hukum yang multi interpretatif maka untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan terobosan-terobosan hukum dalam mengakomodir perkembangan politik nasional agar tidak menabrak kaidah hukum dalam hal ini adalah UU 10/2008. Pertama, segera mahkamah konstitusi memberikan fatwa hukum terhadap isu-isu tersebut agar tidak terjadi multitafsir tentang pemahaman kaidah hukum terhadap UU 10/2008 tersebut sehingga apabila dibiarkan akan berakibat terjadinya distabilisasi dalam internal partai dan meluas menjadi distabilitas politik dalam skala nasional. Kedua, partai-partai melalui fraksi-fraksinya segera melakukan usulan refisi terbatas terhadap UU No.10/2008, minimal berisi pasal-pasal konkrit yang mengakomodir tentang pengunaan suara terbanyak, sehingga ada jaminan dan kepastiaan hukum, terutama dengan penambahan pada pasal 214 dengan butir f misalnya yang memberikan kewenangan kepada KPU untuk dapat menerima dan mensahkan mekanisme suara terbanyak yang dianut beberapa parpol selain mengunakan nomer urut bagi parpol yang mengunakaanya, artinya 2 sistem tersebut diakomodir dalam UU sehingga KPU saat menentukan calon terpilih tidak menabrak kaidah UU. Kalau tidak, saya kuatir elit-elit politik dinegeri ini hanya mengunakan isu-isu ini sebagai ranah politik yang dikembangkan oleh parpol dalam rangka strategi mengerakkan mesin politiknya dan mencari simpati masyarakat, yaitu para caleg agar semua mau bekerja sedangkan wilayah putusan hukum sengaja diambangkan. Klau ini terjadi maka ini adalah kebohongan yang luar biasa baik kepada kader partai sendiri maupun kepada masyarakat secara umum. Secara pribadi, saya sangat prihatin bila hal ini terjadi artinya tidak ada kejujuran dalam mengelola partai politik atau adanya praktek dusta antar pengelola parpol. Marilah kita mulai jangan ada dusta diantara kita, berpolitiklah yang lurus dan fair krn sesungguhnya berpolitik adalah sarana jihad kita bagi ummat, bangsa dan negara.
Semoga kita semua tercerahkan !!!! AMIEN 3 X
http//:www.ronysuhartono.blogspot.com
CALEG DPR - RI DAERAH PEMILIHAN JAWA TIMUR X ( LAMONGAN - GRESIK )
Link: www.google.com